Rabu, 31 Desember 2014

Tafsir Gempa Dalam Literatur Aceh Kuno

Oleh: Mulyadi Nurdin, Lc
Dan jika pada bulan Muharram gempa pada siangnya, alamat keluasan anugerah Allah akan segala isi negeri. Jika malamnya gempa, alamat akan datang kesakitan atau sempurna ke dalam negeri itu. Jika pada bulan Safar gempa pada siangnya, alamat akan perang isi negeri itu. Jika pada malamnya gempa alamat segala perempuan yang bunting kejatuhan anaknya. Jika pada bulan Rabiul awal gempa pada siangnya, alamat banyak orang sakit atau banyak mara akan datang. Jika pada malamnya gempa, alamat segala binatang empat kaki banyak mati.
Cuplikan Ta’bir gempa di atas dikutip dari sebuah kitab kuno Aceh yang kini tersimpan di rumah salah seorang pengurus MAA Provinsi Aceh, Tarmizi A. Hamid, kitab itu diperkirakan telah berusia sekitar 300 tahun, dari bentuknya jelas terlihat kitab tersebut sudah sangat tua, sebagian lembarannya sudah lepas, malah halaman sampul depan dan beberapa halaman pertama tidak dapat diidentifikasi lagi, sehingga penulis sampai sekarang belum dapat melacak judul dan pengarang kitab tersebut. Walau demikian, halaman isi dan huruf-huruf dalam kitab yang yang ditulis dengan tulisan tangan tersebut masih sangat jelas, hampir semua lembarannya masih utuh sehingga dengan mudah kita dapat membacanya.
Kitab ini terdiri dari beberapa Bab, di antaranya bab tentang ta’bir gempa, dan ini yang membuat penulis tertarik untuk mengkajinya. Terlepas dari kita percaya atau tidak pada ta’bir gempa yang tercantum dalam kitab tersebut, penulis akan menganalisa masalah ini dari beberapa sudut pandang. METODE PENTA’BIRAN Pengarang kitab kuno tersebut menyusun ta’bir gempa berdasarkan bulan hijriah, kemudian disertai dengan keterangan waktu terjadinya gempa itu, seperti siang atau malam. Berbeda waktu tentu saja berbeda ta’birnya, malah kadang-kadang ada yang bertolak belakang sama sekali hanya karena perbedaan waktu, walaupun masih dalam bulan yang sama.
HIKMAH YANG DAPAT DIAMBIL
1. Edukasi gempa kepada masyarakat Dalam beberapa literatur kuno yang sudah penulis telusuri terdapat pembahasan Ta’bir gempa pada salah satu bab kitab tersebut, ini menunjukkan bahwa persoalan gempa telah menjadi perhatian serius dari endatu kita, mereka menyelipkan pembahasan gempa yang memang rawan terjadi di Aceh karena letak geografisnya dalam kitab-kitab yang biasa dibacakan oleh masyarakat umum seperti kitab fiqh, tasauf, akhlak dan sejenisnya yang menjadi konsumsi masyarakat luas. Pendidikan tentang gempa telah menjadi budaya dalam masyarakat kita, para ulama dan ilmuan berusaha untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang peristiwa alam tersebut supaya sama-sama dapat mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi setelahnya, sehingga masyarakat awam akan sadar bahwa gempa merupakan suatu kejadian yang akan disusul dengan kejadian lainnya.
2. Sebagai sarana early warning system Cara terbaik dalam mencegah banyaknya korban dari sebuah bencana alam seperti Tsunami adalah dengan adanya perangkat Early Warning System (sistem peringatan dini). Sekarang perangkat tersebut sudah dapat dipasang di samudra luas untuk melacak potensi Tsunami akibat gempa besar di suatu lokasi tertentu, namun pada masa lampau ketika perangkat tersebut belum ditemukan, metode peringatan dini juga telah dilakukan oleh endatu kita melalui lembaga pendidikan, sehingga kitab-kitab yang dijadikan kurikulum pada lembaga pendidikan seperti dayah disertai dengan peringatan tentang gempa bumi. Terlepas dari terbukti atau tidaknya peringatan yang dicantumkan dalam kitab tersebut minimal masyarakat telah bersiaga menghadapi suatu kejadian susulan akibat dari gempa bumi, Early Warning System yang dipasang di zaman modern juga bisa saja mengalami error, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2007 lalu, perangkat peringatan dini Tsunami yang dipasang di kantor Gubernur Aceh dan Meuraxa berbunyi sendiri tanpa ada yang menghidupkan, walaupun demikian perangkat itu tetap diperlukan dan harus dipertahankan keberadaannya walaupun telah menyebabkan kepanikan luar biasa karena kegagalan sistemnya. Demikian juga dengan peringatan dini ala kitab kuno yang kita jumpai, mereka telah berupaya untuk memperingatkan kita akan peristiwa gempa supaya dapat bersiap-siap menghadapi akibat baik atau buruk yang mungkin ditimbulkan setelah peristiwa itu.
3. Sebagai upaya memahami rahasia fenomena alam Secara sederhana bisa dikatakan bahwa segala kejadian yang terjadi di alam ini ada yang mengaturnya, karena disana ada Tuhan sekalian alam, namun pesan yang terkandung di balik suatu peristiwa tidaklah dipahami oleh semua makhluk yang ada. Peristiwa gempa dan Tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 di Aceh meninggalkan berbagai kisah tentang rahasia alam, seperti ribuan bangau putih yang bersarang di wilayah hutan bakau di desa Lambada lhok Aceh Besar tidak kembali ke sarangnya pada sore hari tanggal 25 Desember 2004, sehari sebelum Tsunami menerjang wilayah tersebut. Ini menunjukkan bahwa kejadian alam itu dapat dianalisa dan diketahui oleh makhluk yang ada di bumi. Sebagai usaha untuk mengungkap tabir yang terkandung di balik kejadian gempa bumi, ulama Aceh tempo dulu mencoba menganalisa pesan apa yang terkandung di balik suatu gempa berdasarkan waktu kejadiannya. Ini merupakan langkah luar biasa demi keselamatan anak cucu mereka di kemudian hari, upaya mereka dalam mengungkap ta’bir gempa sebagai salah satu fenomena alam patut mendapat penghargaan yang tinggi, karena terbukti kelalaian kita terhadap peristiwa itu telah menyebabkan ratusan ribu nyawa melayang hanya dalam hitungan menit.
4. Sebagai catatan bagi generasi sesudahnya Ada dua metode (menurut penulis) yang digunakan oleh pengarang kitab yang kita sebutkan di atas dalam memahami ta’bir gempa.
Pertama, semua ta’bir yang dituliskan dalam kitab tersebut adalah hasil rekaman sejarah sebelumnya, dimana pengarang kitab tersebut mencoba menghimpun sejarah gempa dalam waktu sekian lama, lalu menganalisa peristiwa apa yang menyusul setelah gempa itu terjadi, analisa ini dilakukan dalam waktu yang relatif lama karena harus disertai dengan kalender peristiwa sebelum dan sesudah gempa, disertai analisa waktu (pagi, siang, malam) terjadinya gempa itu sendiri. Karena bisa saja terjadi gempa pada bulan yang sama tetapi beda waktunya, lalu mungkin saja peristiwa yang terjadi setelah gempa itu juga berbeda.
Kedua, ta’bir gempa itu diambil dari ilmu masa depan (makrifat), yang bisa saja berasal dari ilham terhadap pengarang kitab tersebut, atau analisa pribadi terhadap segala kemungkinan yang akan timbul, yang tentu saja disertai dengan ilmu pendukung lainnya, seperti ilmu geologi, ilmu falak, ilmu pergantian musim, dan lain sebagainya. Apapun landasannya, ta’bir gempa itu akan membuat masyarakat waspada pada peristiwa tersebut, karena sebuah kejadian susulan akan segera menyusul pasca gempa bumi, kewaspadaan seperti itu jauh lebih bermanfaat daripada mengabaikan segala kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga kalau saja peristiwa itu benar-benar terjadi nantinya, masyarakat telah siap menghadapinya, kalau tidak terjadi pun tidak ada yang dirugikan.
*Penulis adalah Kabid. Pemuda dan Kaderisasi MAA Provinsi Aceh, Ketua IKADI Kota Banda Aceh

Sumber : https://mulyadinurdin.wordpress.com/2009/12/19/tafsir-gempa-dalam-literatur-aceh-kuno/

0 komentar:

Posting Komentar

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ :-? #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!