Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang.
MASYARAKAT Aceh memiliki budaya penyebutan nama daerah sesuai
dengan kejadian atau peristiwa-peristiwa besar dan ketokohan seseorang.
Nama daerah tersebut kemudian ditabalkan untuk gampong yang baru saja
didiami dan tidak jarang masih dipakai hingga sekarang.
Nama-nama daerah atau gampong di Aceh tersebut terkadang terdengar
unik, baik bagi pendatang maupun warga setempat. Lantas seperti apa
nama-nama gampong tersebut ?
Samahani
Samahani merupakan daerah kelahiran Bupati Aceh Besar Mukhlis A
Basyah alias Adun Mukhlis. Samahani merupakan salah satu kemukiman yang
ada di Aceh Besar dan terkenal dengan roti selai rasa srikaya.
Pertanyaannya, kenapa daerah tersebut dinamakan Samahani?
"Dulunya di daerah ini ada pedagang keturunan India bernama Ghani.
Dia sering berjualan di daerah tersebut dengan mengusung barang dagangan
di atas kepalanya," ujar dosen Sejarah FKIP Unsyiah, Teuku Abdullah
Sakti saat dihubungi ATJEHPOSTcom, Senin, 26 Mei 2014.
Menurutnya, berdasarkan cerita rakyat, Ghani yang kerap melewati
daerah ini sering dikerubungi elang yang ingin memakan barang
dagangannya.
"Jadi elang sama-sama (terbang berkeliling) di atas kepala si Ghani
ini. Lama kelamaan, masyarakat setempat kemudian menyebut daerah ini
dengan Sama si Ghani yang kemudian menjadi Samahani," ujar pecinta
hikayat Aceh ini.
Tokoh budaya Aceh ini mengaku banyak sekali nama-nama gampong yang
memiliki latar belakang sejarah unik di Aceh. Dia pun merasa terpanggil
untuk membukukan nama-nama unik gampong di seputar daerah Aceh tersebut
meski hingga saat ini belum memiliki dana.
"Sudah pernah saya susun dan ringkas. Termasuk ringkasan dari
sejumlah paper mahasiswa yang mengikuti kuliah sejarah Daerah Aceh yang
saya asuh di FKIP Unsyiah. Tapi banyak pihak yang tidak berminat untuk
menjadikannya buku," kata Teuku Abdullah.
Alue Leuhob
Selain Samahani, nama gampong unik lainnya seperti Alue Leuhob, Aceh
Utara. Teuku Abdullah mengatakan daerah ini merupakan sebuah desa di
kawasan transmigrasi Buket Hagu Cot Girek, Aceh Utara.
Sejak tahun 1984, desa Alue Leuhob sudah termasuk desa mandiri atau
lepas dari pengelolaan Departemen Transmigrasi. Dengan demikian Alue
Leuhob merupakan Desa ke -100 di Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh
Utara.
"Nama Alue Leuhob berasal dari dua kata, yaitu Alue dan Leuhob. Alue,
artinya sungai kecil, sedangkan Leuhob berarti lumpur. Secara sederhana
Alue Leuhob berarti: Sungai Kecil yang berlumpur," katanya.
Dari pengertian nama gampong tersebut, tentunya kita dapat
membayangkan bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah berawa dan
dipenuhi lumpur. Sementara realita yang bisa ditemui di lapangan, desa
ini “amat bersih” dari jebakan lumpur.
Lama Inong
Contoh unik nama gampong lainnya seperti Gampong Lama Inong di Aceh
Barat Daya. Berdasarkan sejarah gampong tersebut diketahui pada zaman
dulu, tiga orang dari Pidie merantau ke daerah ini. Salah satu di
antaranya adalah Teuku Karim dari Desa Ujong Rimba, Pidie.
"Pada mulanya mereka menetap di daerah Nagan (Jeuram) dan mulai
membuka seuneubok lada atau tempat bercocok tanam lada keumeukok (lada
berekor)," kata Teuku Abdullah.
Ketiga anak muda itu memiliki bakat pergaulan yang baik. Di siang
hari mereka bekerja di kebun lada, sedang pada malam hari mengajar
anak-anak mengaji Alquran dan mengajar kitab-kitab kepada orang dewasa.
Pengaruhnya semakin besar di kalangan rakyat daerah Seunagan
Melihat gelagat yang kurang menguntungkan dirinya, raja Jeuram mulai
gelisah. Dicarilah cara-cara agar ketiga anak muda itu mau pindah ke
tempat lain. Akhirnya, raja berhasil membujuk mereka berangkat ke Aceh
Selatan karena di sanalah yang paling cocok untuk membuka seuneubok lada.
“Setelah diberi perbekalan oleh raja, berangkatlah Teuku Karim
bersama dua kawannya ke Aceh Barat Daya (yang waktu itu masih disebut
Aceh Barat Leupah),” katanya.
Ketika berada di Aceh Selatan, mereka menumpang tinggal di rumah
seorang perempuan di suatu desa yang belum punya nama. Dengan diantar
perempuan tua itu sebagai penunjuk jalan, barangkatlah mereka menjumpai
raja Teuku Sarullah ke daerah Kuala Batee.
Kedatangan ketiga pemuda asal Pidie ini disambut baik oleh raja Teuku
Sarullah. Kemudian, ketiganya menjadi tokoh-tokoh penggerak kemajuan
rakyat di kerajaan Kuala Batee. Teuku Karim, sesudah jadi tokoh
masyarakat bergelar Teuku Syik Karim.
Peristiwa menumpangnya tiga pemuda perantau di rumah seorang
perempuan tua itu, akhirnya menjadi sejarah yang dikenang oleh rakyat
kerajaan Kuala Batee. Penyebabnya, ketiga anak muda tersebut telah
mengukir sejarah yang indah bagi masyarakat di daerah itu.
“Mungkin untuk mengenang peristiwa itu, maka daerah tempat menginap
atau menumpang beberapa hari pemuda perantau itu, diberi nama Lama
lnong, artinya perempuan lama atau perempuan tua,” ujar Teuku Abdullah.
Jeurat Manyang
Di Pidie, juga terdapat nama gampong yang unik: Jeurat Manyang.
Gampong ini terletak di Kecamatan Mutiara, Pidie. “Dalam bahasa
Indonesia arti harfiah dari Jeurat Manyang, yaitu kuburan tinggi,”
katanya.
Teuku Abdullah berkisah, pada zaman periode awal kedatangan Islam di
Aceh telah datang ke desa (yang sekarang bernama Jeurat Manyang) seorang
ulama dari negeri Pasai (Kerajaan Samudra Pasai). Ulama tersebut
mengendarai seekor gajah.
“Menurut sumber cerita orang-orang tua, ulama itu berasal dari suatu
daerah bernama Jeurat Manyang (Rhang Manyang) di Kerajaan Samudra Pasai,
Aceh Utara. Masyarakat menyebut ulama itu dengan gelar Teungku Jeurat
Manyang,” katanya.
Setelah tinggal menetap di situ, Teungku Jeurat Manyang lalu
mendirikan dayah (pesantren). Banyak sekali santri yang belajar ke dayah
tersebut sehingga dikenal oleh masyarakat luas. Saat Teungku Jeurat
Manyang meninggal, dayahnya terus dikembangkan oleh murid-muridnya.
“Akhirnya untuk mengenang dan menghormati ulama ini, maka tempat
daerah lokasi dayah didirikan sekaligus tempat beliau dikuburkan
dinamakan Kampung Jeurat Manyang. Jeurat Manyang, berarti di situ pernah
berjasa Teungku Jeurat Manyang asal Pasai, Aceh Utara,” kata Teuku
Abdullah.
Selain itu, kata dia, ada juga yang berpendapat penyebutan Gampong
Jeurat Manyang disebabkan adanya makam tinggi (jeurat manyang) di daerah
tersebut. “Kalau diperhatikan, letak kuburan itu memang pada tanah yang
agak tinggi kalau dalam bahasa Aceh disebut Manyang. Sementara jeurat
artinya kuburan. Jeurat Manyang makna harfiahnya Kubur yang tinggi,”
katanya.
Kandang Cut
Kampung Kandang Cut termasuk dalam Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten
Aceh Besar. Menurut cerita seorang sesepuh desa, zaman dulu di desa ini
berdiri sebuah kerajaan yang besar dan megah. Kerajaan itu memiliki
sebuah benteng terletak di Cot Kuta. Setelah berdiri sekian lama,
kerajaan itu pun runtuh.
Sesudah kerajaan lebur, maka yang tinggal hanya kuburan raja-raja dan
keturunannya. Sebagai penghormatan kepada para raja yang dikebumikan di
situ, kuburan inilah dinamakan Kandang.
“Mungkin karena ada Kandang Rayeuk besar di tempat lain, maka makam
raja ini dinamakan Kandang Cut artinya Perkuburan kecil. Seterusnya,
nama desa itupun digelar orang Kampung Kandang Cut; artinya Cut atau Pocut (orang bangsawan) dikuburkan,” kata Teuku Abdullah Sakti.
Dia turut merujuk catatan sejarah Aceh yang menyebutkan perkuburan
“Kandang Cut” adalah makam-makam keturunan raja dari Kerajaan Aceh
Darussalam. “Jadi bukan kuburan keturunan raja kerajaan yang berdiri di
desa itu sendiri, sebagaimana dijelaskan sesepuh Desa Kandang Cut
tersebut,” katanya.
Alue Peudeueng
Desa Alue Peudeueng terletak di Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh
Barat. Menurut kisah, dulu nama kampung ini adalah Kuntirek yang
kemudian diubah setelah terjadinya perang antar daerah.
Wilayah ini diperintah oleh seorang pemimpin yang bergelar datuk.
Pemimpin pertama bernama Datuk Raja Bujang. Wilayah kekuasaannya sangat
luas, mulai Alue Gantung sampai ke Pasi Megat.
Merujuk catatan Teuku Abdullah Sakti, secara berurutan datuk-datuk
yang pernah memerintah di daerah ini adalah Datuk Raja Bujang, Datuk
Teungku Meuko Cumeh, Datuk Keucik Padang, Datuk Keucik Kuta Baro, Datuk
Genta Ali, Datuk Gadong, Datuk Jali, Datuk Bali, Datuk Sampe, dan Datuk
Kaoy yang merupakan pemimpin yang bergelar datuk paling akhir.
Setelah terjadi pembagian wilayah pada masa berkuasa datuk-datuk,
maka desa itu dinamakan Alue Peudeueng. Berdasarkan arti kata, Alue berarti alur atau aliran sungai kecil. Sedangkan Peudeueng berarti pedang atau senjata tajam.
“Jadi Alue Peudeung artinya aliran sungai yang ada pedangnya. Menurut
cerita, pada suatu peristiwa perebutan kekuasaan zaman dulu, jatuhlah
ke sungai sebilah pedang dari salah satu pihak. Karena air sungai sangat
curam deras, maka pedang itu tak dapat diambil lagi,” kata Teuku
Abdullah.
Blang Panjo
Di Bireuen juga terdapat gampong bernama Blang Panjo. Jika merujuk kata-kata Blang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sawah, sementara Panjo
berarti batang kapuk. “Dulunya di gampong tersebut hanya ada persawahan
dan bak panjo. Makanya dinamakan Blang Panjo,” ujar salah satu warga
Blang Panjo, Iqbal Redha.
Saat ini, kata dia, gampong tersebut dihuni oleh 100 kepala keluarga dan telah dihuni sejak Belanda masuk ke Aceh.
Asan Bideuen
Gampong Asan Bideun merupakan salah satu desa yang ada di Bireuen.
Penamaan gampong ini sangat menarik karena terkait erat dengan cerita
gaib penduduk setempat.
Menurut sejarah penduduk setempat, penamaan gampong ini berasal dari
cerita adanya kuntilanak yang sering bernyanyi di batang angsana atau
sonokembang. Pohon ini adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas
tinggi dari suku Fabaceae. Kayunya keras, kemerah-merahan, dan cukup berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood.
“Pohon asan (angsana) itu besar dan berhantu. Sering terdengar hantu
perempuan bernyanyi (biduan) di pohon tersebut. Kemudian daerah ini
disebut sebagai Gampog Asan Bideun,” ujar Iqbal.
“Kini pohon tersebut sudah ditebang meski gampong itu masih disebut sebagai Asan Bideuen,” katanya.
Meureudu
Meureudu merupakan ibukota Pidie Jaya usai pemekaran dari Pidie. Kota
ini terletak di pesisir timur Kabupaten Pidie Jaya. Daerah ini terkenal
dengan aneka masakan khas India yang lezat, seperti martabak kari dan
nasi briani yang tidak berbeda jauh dengan negara asalnya, karena
mayoritas penduduk Meureudu merupakan keturunan Hindi (India).
Penamaan nama Meurudu terkait dengan sejarah meluasnya wilayah
Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Berdasarkan cerita
turun temurun penduduk Pidie Jaya, Meureudu berasal dari kata Meurah Du
yang artinya gajah duduk.
Konon dikisahkan pada saat Sultan Aceh melakukan perjalanan ke
daerah-daerah dia menumpang seekor gajah. Namun saat tiba di Meureudu,
gajah tersebut kelelahan dan beristirahat. Akibatnya, lokasi armada
gajah milik kerajaan Aceh beristirahat ini kemudian disebut sebagai
Meurah Du yang kemudian menjadi Meureudu. Lokasi gajah duduk milik
Sultan Aceh tersebut berada di Gampong Meunasah Raya, Meureudu. Di sana
terdapat sebuah monumen yang menceritakan asal mula penamaan Meureudu,
yang bisa ditemui hingga sekarang.
Di catatan sejarah lainnya yang ditulis Ali Hasjmy mengungkapkan
bahwa penamaan Meureudu berasal dari nama salah satu putera Makdum Malik
Mansur dari kerajaan Peureulak. Ia terkenal dengan gelar Meurah Meria
atau Tue Mersa.
Makdum Malik Mansur memiliki tujuh orang anak laki-laki, yaitu Meurah
Jernang, Meurah Bacang, Meurah Itam, Meurah Puteh, Meurah Silu dan
Meurah Mege. Ketujuh anaknya tersebut ditugaskan menyebarkan dakwah ke
daerah-daerah lainnya di luar Peureulak seperti ke Seunagan, Barus,
Beuracan, Kiran, Jeumpa Syahir Tanwi, dan Daya.
Nama Meureudu sendiri berasal dari Meurah dua, yakni Meurah Itam dan
Meurah Puteh yang kemudian diberi nama oleh Sultan Malik Saleh (Meurah
Silu) menjadi Meurdu.
0 komentar:
Posting Komentar