Berdasarkan data dalam naskah Ensiklopedi
Musik dan Tari Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang diterbitkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986, tari Ranub Lampuan mulanya
hanya terdapat di Banda Aceh. Dalam waktu relatif singkat kemudian tari ini
telah dijumpai pula di kabupaten/kota lainnya, terutama daerah pesisir Aceh.
Ranub ialah sirih, lam berarti
dalam atau di dalam, dan puan merupakan cerana. Itu sebabnya, Ranub
Lampuan secara harfiah diartikan sirih di dalam cerana.
Tari ini diciptakan sekitar tahun
1962 oleh Yuslizar, 34 tahun, warga Banda Aceh, penata tari pada group tari
Pocut Baren. Tari ini ditarikan oleh tujuh penari perempuan remaja. Sebagai
pengiring tari ialah musik modern (band atau orkestra) dan dapat juga dengan
musik tradisional serune kalee dan geundrang.
Perlengkapan tari ialah puan (cerana)
tujuh buah yang terdiri enam buah untuk penari biasa, dan sebuah karah
(puan memakai tutup) untuk primadona atau penari utama. Sirih yang
dihidangkan kepada tamu sudah diramu, berbentuk piramida, dan biasanya
pinangnya sudah direbus dengan air gula.
Tari ini berlatarbelakang
adat-istiadat yang hidup dan tetap terpelihara di Aceh, khususnya adat menerima
dan menghormati tamu. Hal ini terlihat melalui simbolik gerak tari penari
maupun melalui perlengkapan tari, sirih yang disuguhkan kepada tamu. Gerak tari
terlihat tertib dan lembut sebagai ungkapan keikhlasan menerima tamu.
Seperti gerak salam sembah, gerak
lembut ke samping kanan kiri, dengan tangan mengayun adalah ungkapan kehidmatan
mempersilahkan para tamu duduk, dan suguhan sirih adalah pelambang
persaudaraan, sebagai mukaddimah dari setiap hajad dalam pergaulan hidup
bermasyarakat.
Karena itu menurut jenisnya tari ini
digolongkan sebagai tari adat/upacara. Penampilannya adalah guna menghormati
tamu. Selain dipentaskan, tari ini adakalanya diadakan di tempat upacara
penyambutan tamu negara, seperti di lapangan terbang dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, menurut Tgk.
Yusdedi mantan Koordinator Sanggar Pocut Meurah Inseuen Lhokseumawe, tari Ranub
Lampuan banyak mengalami perubahan. “Seperti di Lhokseumawe, gerakan-gerakan
tari itu banyak yang ditata kembali, dihilangkan lenggak-lenggok pantat para
penari,” ujar Tgk. Yusdedi kepada atjehpost.com, Sabtu, 15 Maret 2014.
Musik pengiring tari Ranub Lampuan,
kata Tgk. Yusdedi, mulanya adalah orkestra. Belakangan, kata dia, diganti
dengan seureune kale setelah para peñata tari di Aceh mengadakan
pertemuan membahas tari tersebut. Sementara jumlah penari tergantung luas
tempat yang tersedia, namun tetap mengacu angka ganjil: lima atau tujuh
perempuan.
“Tari Ranub Lampuan adalah tari
persembahan di depan petinggi negara dan untuk menyambut tamu-tamu yang
dimuliakan,” kata Tgk. Yusdedi.
***
Tari Ranub Lampuan yang pada
akhirnya secara nyata menghidangkan sirih dalam cerana kepada tamu, kata Nurdin
AR, itu melambangkan keramah-tamahan sebagaimana adat orang Aceh memuliakan tamu.
“Seperti pepatah Aceh, mulia jamei ranub lampuan, mulia rakan mameh suara
(menghormati tamu dengan sirih dalam cerana, memuliakan teman dengan suara
manis),” ujar Nurdin AR, mantan Kepala Museum Aceh, dalam percakapan dengan atjehpost.com,
belum lama ini.
Nun jauh sebelum munculnya tari Ranub
Lampuan, kata Nurdin AR, masyarakat Aceh sudah membudayakan makan sirih, dan
menghidangkan kepada tamu. Itu sebabnya, di rumah-rumah orang Aceh dulunya ada rampagoe,
cubek, leusong, alee, cumboi, kerandan, ceureupa, cerana, batee ranup,
dan lainnya. “Semuanya bernilai seni,” katanya.
Berdasarkan data dilansir situs museum.acehprov.go.id,
salah satu koleksi Museum Aceh adalah cubek atau alat pelumat sirih.
Situs itu menjelaskan, cubek terbuat dari kuningan, berbentuk silinder
dengan hiasan garis-garis horizontal, bola-bola kecil, suluran. Cubek
terbagi dua bagian, satu bagian lesung dan satu bagian lagi sebagai alat (alu
penumbuknya).
“Budaya makan sirih di Aceh sejak jameun
keureueunteun, zaman Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada. Zaman silam tidak
dihidangkan kopi kepada tamu, budaya minum kopi di Aceh berkembang sekitar 100
tahun terakhir, artinya memang baru,” ujar Nurdin AR yang kini Dosen Filologi
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh.
Peneliti sejarah, Denys Lombard,
dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”,
menceritakan tentang pengalaman salah seorang tamu asing yang berkunjung ke
Kerajaan Aceh masa itu. Tamu tersebut, Beaulieu menuturkan bahwa setelah tamu
asing menghadap, kemudian raja akan menjamu kapten dan perwira-perwiranya
dengan sangat baik. Lalu ditawarkan sirih yang ditempatkan pada wadah emas yang
besar dengan tutup dari zamrud.
Menurut kesaksian Usman Budiman
mantan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Lhokseumawe, zaman lampau di rumah-rumah
orang Aceh ada batee ranub yang di dalamnya berisi sirih, pinang,
gambir, bunga lawang, dan boh cuko. Ada pula plok gapu (tempat
kapur), rampagoe (alat memotong pinang), dan cubek.
“Setiap tamu yang datang ke rumah
disuguhkan sirih untuk menciptakan keharmonisan. Selain untuk tamu, indatu kita
menyarankan kepada teman, keluarga termasuk cucunya agar makan sirih. Makanya indatu
kita mewariskan nasehat: mulia wareh ranup lampuan, mulia rakan mameh
suara,” kata Usman Budiman saat bercakap-cakap dengan atjehpost.com, Jumat,
14 Maret 2014.
Usman Budiman memperkirakan budaya
makan sirih di Aceh berasal dari India. “Indatu kita dari India, orang
makan sirih,” ujarnya.
Data dilansir situs resmi
Perpustakaan Negara Malaysia, www.pnm.my, menyebutkan tradisi makan sirih
merupakan warisan budaya silam, melebihi 3.000 tahun yang lampau atau zaman
neolitik, dan diamalkan dengan meluas di rantau Asia Tenggara, hingga ke abad
kini.
Tradisi ini tidak dapat dipastikan
dari mana asalnya. Berdasarkan cerita-cerita sastra, ia dikatakan berasal dari
India. Namun jika berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar tradisi ini
berasal dari kepulauan Indonesia.
Pelayar terkenal Marco Polo pada
abad ke-13 telah menulis dalam catatannya bahwa terdapat segumpal sentil atau
songel tembakau di mulut kaum India. Kenyataan ini dijelaskan pula oleh
penjelajah terdahulu daripadanya seperti Ibnu Batutah dan Vasco Da Gama yang
menyatakan terdapat masyarakat di sebelah Timur memakan sirih.
Di Malaysia, kata Usman Budiman,
hingga kini masih berkembang budaya makan sirih. Kalau kita pergi ke daerah
Klang, Malaysia, kata dia, di pinggir jalan kawasan industri itu banyak sekali
orang India yang menjual sirih.
“Saya baru pulang dari Malaysia
malam kemarin. Saat datang ke daerah Klang itu, saya bilang: nyoepat baro na
makanan tanyoe (ini baru ada makanan kita/sirih)”.
Sirih yang dijual orang India di
Negeri Jiran itu, menurut Usman Budiman, sama seperti sirih di Aceh, termasuk
pinang, dan kapur.
Akan tetapi, kata Usman Budiman,
budaya makan sirih di Aceh saat ini mulai langka. Itu sebabnya, tokoh adat yang
pernah menjabat pimpinan dan anggota DPRD Aceh Utara selama 30 tahun ini,
meminta pemerintah daerah melalui lembaga adat menghidupkan kembali budaya
makan sirih agar tidak lenyap di bumi Aceh.
“Pejabat pemerintah dan tokoh
masyarakat harus membudayakan kembali makan sirih, kalau datang tamu ke kantor
dan rumah, suguhkan sirih. Jadi jangan hanya dipamerkan tari Ranub Lampuan,
kemudian diambil sirih dimasukkan ke kantong, tidak dimakan,” ujar Usman
Budiman.
***
Sekitar dua tahun sebelum lahirnya
tari Ranub Lampuan yang diciptakan Yusrizal, di Aceh sudah ada lagu Ranub
Lampuan. Menurut data dari Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lagu
Ranub Lampuan diciptakan oleh T. Djohan bersama Anzib sekitar tahun 1960.
Lagu Ranub Lampuan cukup popular di
Aceh. Selain sebagai lagu daerah Aceh, lagu ini juga berfungsi mengiring tari
Ranub Lampuan. Lengkapnya lagu ini adalah :
Saleum alaikom tengku baro troh
Tamong neu piyoh neuduek bak tika
Ranub Lampuan sinan ulon boh
Geunanto bungkoh bohru peut punca…. (2x)
Ranub lam uteun, pineung nyang luroh
Lawang jih lon boh meu ada kala
Nyang na mudahan, teungku neu pajoh
Jaroe lon siploh ateuh jeumala…. (2x).
0 komentar:
Posting Komentar