Dalam
perkembangan penulisan selanjutnya, ‘Aceh’ sering pula ditulis ‘Atjeh’.
ACEH menyimpan banyak misteri. Salah satu misteri yang
tampaknya belum terpecahkan hingga sekarang adalah tentang penulisan nama
‘Aceh’. Bila diselisik lebih jauh tentang penulisan kata Aceh dalam buku-buku
sejarah, akan ditemukan kata Achei, Achin, Atchin, Atjeh, Aceh.
Konon katanya, nama ‘Aceh’ merupakan singkatan dari
Arab, China, Endia (India), Hindia Belanda. Hal ini menurut sebagian orang
didasarkan pada dua hal. Pertama, orang Aceh terdiri dari Arab, China, Endia
(India), Hindia Belanda. Kedua, orang Aceh merupakan keturunan dari
bangsa-bangsa itu. Akan tetapi, itu tampaknya tidak memiliki sumber yang jelas
dan hanya merupakan spekulasi belaka. Dikatakan demikian karena berdasarkan
catatan sejarah, yang pernah mendatangi Aceh dan menetap di Aceh bukan hanya
Arab, China, Endia (India), Hindia Belanda. Bangsa-bangsa seperti Portugis,
Vietnam, dan Afrika juga pernah mendatangi Aceh.
Sebenarnya berkaitan dengan nama Aceh ini, banyak ahli
yang telah melakukan penelitian. Salah satunya adalah Denis Lombard. Ia
menyebutkan, nama ‘Aceh’ baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma
Oriental yang dikarang di Malaka sekitar 1950 oleh Tomé Pires yang
berkebangsaan Portugis. Lombard selanjutnya mengatakan, dalam buku itu kata
‘Aceh’ dieja ‘Achei’.
Beberapa tahun kemudian, dalam buku yang ditulis oleh
Barros yang berjudul Da Asia disebutkan, pengejaan kata ‘Aceh’ dengan
‘Achei’ telah mengalami perubahan yang berbentuk adanya penyengauan bunyi pada
akhir kata, yaitu ‘Achem’. Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam
naskah-naskah Eropa abad ke-16, 17, dan 18. Di dalam naskah-naskah tersebut,
kata ‘Aceh’ dieja ‘Achin’ dan ‘Atchin’.
Dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh
L.C. Damais, kata ‘Aceh’ ditulis ‘Acih’. Lombard mengungkapkan, penulisan kata
‘Aceh’ dengan ‘Acih’ adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara
ilmiah karena setiap fonem dicatat dengan satu huruf saja, dan huruf i lebih
baik daripada huruf e untuk mencatat huruf hidup kedua yang ucapannya sangat
mendekati /i/.
Selanjutnya, sekitar akhir abad ke-19, nama tanah Aceh
dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yag membentang dari ujung utara pulau
itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan Tamiang di pantai timur
dengan Barus di pantai barat. Menurut Snouck Hurgronje, penduduknya
membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segitiga itu
dengan bentuk jeu-èe (tampah tradisional).
Dalam perkembangan penulisan selanjutnya, ‘Aceh’
sering pula ditulis ‘Atjeh’. Jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan ejaan,
penulisan seperti itu tentu saja merujuk pada ejaan lama, tepatnya ejaan van
Ophuysen (1901-1947). Dalam ejaan ini, yang mewakili huruf /c/ seperti yang
digunakan sekarang adalah /tj/. Jadi, untuk menyebutkan ‘cara’, misalnya, dalam
ejaan lama ditulis /tjara/.
0 komentar:
Posting Komentar